Welcome To My Blog,please leave comment!!

Laman

Sabtu, 23 Juli 2011

Setiap Rabu[Bagian 2]

Di rumah aku mengambil bir kaleng dari kulkas dan meminumnya di dapur. Aku tidak duduk tapi menyandarkan badan di dinding sebelah pintu ruangan yang dijadikan gudang. Saat kepalaku masih saja berputar-putar kebingungan karena kejadian tadi, kudengar bunyi seperti kayu patah—keluar dari pintu gudang di kananku.
Aku diam, berpikir sambil memandangi kaleng bir di tanganku—khawatir salah mengambil minuman. Tidak, itu bir. Tak mungkin aku langsung mabuk karena beberapa teguk.
Suara itu terdengar lagi.
Penasaran, aku lalu membuka pintu gudang dan heran melihat di sebelah kanan gudang ternyata ada pintu lagi. Pintu itu sedikit terbuka. Seingatku tidak ada pintu di sana. Tapi setelah kupikir lagi, aku juga tidak begitu yakin karena tidak sepenuhnya hapal rumah ini. Rumah ini milik istriku. Setelah menikah, ia menyarankan untuk menempati rumahnya saja.
Aku masuk ke gudang, membuka pintu yang ada di dalamnya dan melihat ada tangga menuju ruang bawah tanah. Pantas saja aku tak melihat pintu itu karena seharusnya ada sebuah lemari menghalanginya. Kulihat lemari itu telah bergeser.
Aku menuruni tangga. Dari bawah kudengar suara seperti bunyi mesin pompa air yang aneh. Kadang bunyi itu bernada tinggi, kadang rendah. Suara itu bersahut-sahutan seperti sedang berdebat. Ketika telah sampai di lantai bawah, aku menemukan sebuah pintu lagi—juga sedikit terbuka.
Suara seperti kayu patah kembali terdengar. Bunyinya bergema.
Aku mengira seseorang di dalam ruangan itu sedang memukul meja atau kursi atau benda lain yang terbuat dari kayu.
Perlahan kudorong pintu itu, sepelan mungkin, hingga tiada bunyi yang keluar. Aku tak ingin mengagetkan siapa pun yang ada di dalamnya. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya, aku yang terkejut! Namun aku tak mampu bersuara. Aku membeku seperti fosil dinosaurus melihat pemandangan di depanku; sebuah pemandangan yang belum pernah kulihat seumur hidup. Di depanku berdiri sesosok berwarna coklat memakai pakaian istriku. Sosok itu mempunyai kulit berkerut-kerut seperti kulit pohon berumur ratusan tahun. Tidak jelas hidung dan mulutnya karena ia punya lubang gelap di wajahnya.
Aku mundur, mencoba kabur namun tak mujur—tanganku ditangkapnya. Perlahan sosok itu berubah warna menjadi kuning dan dalam waktu singkat dia telah mempunyai wajah serta kulit seperti yang dimiliki manusia. Sosok itu berubah menjadi istriku.
Aku menarik napas dan terbatuk. Sepertinya aku lupa menghirup udara untuk beberapa detik.
“Kau?” kataku terbata-bata.
Sosok itu diam.
“Siapa kau?”
“Sayang,” ia menghela napas, “nanti kujelaskan di atas.”
Aku seperti orang hilang ingatan, mau saja dituntunnya ke atas hingga kami duduk di sofa. Ia menghadapku sambil terus memegangi tanganku.
“Sayang, apa kau mencintaiku?” tanyanya lembut.
Pertanyaan apa pula itu.
“Apa kau menerimaku apa adanya?” lanjutnya. “Apa kau bahagia selama ini, Sayang?”
Ya Tuhan apa-apaan ini. Tentu saja aku mencintai istriku, perempuan yang menyenangkan yang membuatku serasa di surga, pikirku.
“Dan apa kau tetap merasa di surga setelah tahu bentuk sebenarku?”
Aku ternganga, ia bisa membaca pikiranku.
“Sayang, aku mencintaimu. Aku menerimamu karena kutahu kau tulus mencintaiku,” katanya.
“Siapa kau?”
Dia tersenyum. “Apa itu penting? Bukankah kau bilang tidak perduli latar belakangku?”
Aku terdiam. Kuremas tangannya, kudapati kelembutan di sana. Kuangkat tangannya, kulihat betapa mulus dan terawatnya kulit itu—tak ada lagi kerutan batang pohon. Kutatap dia, kutemukan wajah manis dengan lekuk hidung dan bibir indah menghiasi wajahnya yang bersih.
Apakah penting buatku untuk mengetahui siapa atau apa istriku ini?
Apakah penting bagi mataku untuk melihat bentuk aslinya?
Bukankah kita selalu melihat segalanya seperti yang kita mau?
Bukankah banyak wanita merekayasa bentuknya agar bisa memanipulasi pandangan orang lain?
Lalu, salahkah orang atau apa pun yang ada di depanku ini jika ia juga melakukannya?
Aku meletakkan kedua tanganku di wajahnya.
“Sayang, aku mencintaimu, sungguh,” katanya.
Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Ia mendekatkan wajahnya lalu kurasakan bibirku bertemu dengan bibirnya. Tubuhnya, kehangatannya, nada suaranya, bahkan air matanya, semuanya terasa begitu nyata. Apakah penting buatku untuk mengetahui hal sebenarnya? Aku sudah tak dapat lagi memikirkannya karena ia kembali membuatku serasa di nirwana.
[Tamat]

» Read More....

"&layout=standard&show_faces=false&width=100&action=like&font=arial&colorscheme=light"' frameborder='0' height='30' scrolling='no' style='border:none; overflow:hidden; '/>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar